Bolehkah berbeda niat
antara imam dan makmum? Misalkan, makmum telat dan baru bangun tidur, belum
melaksanakan shalat Zhuhur, sedangkan imam sedang mengerjakan shalat ‘Ashar.
Atau misalkan pula, seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah lalu ada makmum
yang datang dan berniat melaksanakan shalat wajib di belakangnya. Mengenai
masalah ini akan terjawab dengan kaedah Imam Syafi’i rahimahullah yang
dibahas dalam tulisan sederhana berikut.
Kaedah Imam
Syafi’i Mengenai Beda Niat antara Imam dan Makmum
Kata Al Baidhowi
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar, niat adalah istilah untuk geraknya hati[1].
Sehingga dari pengertian, namanya niat tentu di hati, bukan di lisan.
Ada kaedah yang disampaikan
oleh Imam Asy Syafi’i mengenai masalah niat ini. Beliau rahimahullah
berkata,
ونية كل مصل نية نفسه لا يفسدها عليه أن
يخالفها نية غيره وإن أمه
“Niat setiap orang yang
melaksanakan shalat adalah niat bagi dirinya sendiri. Niat orang lain yang
mengimaminya jika berbeda tidak membuat cacat ibadahnya.” (Al Umm, 1: 201)
Kaedah Imam Syafi’i khusus
membahas hukum seputar shalat jama’ah, yaitu bagaimana jika ada perbedaan niat
antara imam dan makmum. Setiap yang shalat berniat untuk dirinya sendiri. Yang
ia niatkan boleh jadi adaa’ (kerjakan shalat di waktunya) atau qodho’
(mengganti shalat di luar waktu), seperti yang satu mengerjakan shalat Zhuhur
dan lainnya shalat ‘Ashar. Boleh jadi niatannya adalah shalat wajib, yang
lainnya shalat sunnah, seperti imamnya berniat shalat sunnah fajar, yang makmum
berniat shalat Shubuh. Tidak mengapa ada beda niat semacam ini selama
pengerjaan shalatnya sama.[2]
Dalil Kaedah
Beberapa dalil yang
mendukung kaedah Imam Syafi’i di atas adalah sebagai berikut.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّى
مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمْ
Dari Jabir, ia berkata
bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu ia mendatangi kaumnya dan mengerjakan shalat bersama mereka. (HR. Bukhari
no. 711 dan Muslim no. 465)
Pendalilan: Dalil di atas
menunjukkan sahnya shalat orang yang mengerjakan shalat fardhu di belakang
orang yang mengerjakan shalat sunnah. Karena Mu’adz di sisi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia mengerjakan shalat wajib. Lantas ia kembali ke
kaumnya untuk mengimami mereka dengan niatan shalat sunnah bagi Mu’adz,
sedangkan kaumnya berniat shalat wajib.
عن عطاء قال وإن أدركت العصر بعد ذلك ولم تصل
الظهر فاجعل التى أدركت مع الامام الظهر وصل العصر بعد ذلك
Dari ‘Atho’, ia berkata,
“Jika engkau mendapati waktu ‘Ashar dan belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka
niatkan bersama imam dengan shalat Zhuhur, setelah itu barulah engkau
melaksanakan shalat ‘Ashar.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm,
1: 200).
Imam Syafi’i berkata,
وإذا لم تفسد صلاة المأموم بفساد صلاة الامام
كانت نية الامام إذا خالفت نيه المأموم أولى أن لا تفسد عليه
“Jika shalat imam batal,
shalat ma’mum tidaklah batal. Maka demikian pula jika niat imam berbeda dengan
niat ma’mum, itu tidak masalah.” (Al Umm, 1: 201)
Di halaman yang sama dalam Al
Umm, Imam Syafi’i rahimahullah juga berkata,
وإذا صلى الامام نافلة فائتم به رجل في وقت
يجوز له فيه أن يصلى على الانفراد فريضة ونوى الفريضة فهى له فريضة كما إذا صلى
الامام فريضة ونوى المأموم نافلة كانت للمأموم نافلة لا يختلف ذلك وهكذا إن أدرك
الامام في العصر وقد فاتته الظهر فنوى بصلاته الظهر كانت له ظهرا ويصلى بعدها
العصر
“Jika imam melaksanakan
shalat sunnah, lalu datang seseorang bermakmum di belakangnya pada saat itu,
maka boleh ia berniat dengan niatan ia sendiri yaitu niatan shalat fardhu.
Makmum tersebut mendapatkan niat shalat fardhu. Sebagaimana juga ketika imam
melaksanakan shalat fardhu, lalu makmum berniat shalat sunnah, maka makmum
diperbolehkan seperti itu. Tidaklah bermasalah adanya perbedaan niat kala itu.
Begitu pula ketika seseorang mendapati imam melaksanakan shalat ‘Ashar, namun
ia ada udzur luput dari shalat Zhuhur, maka ia boleh berniat shalat Zhuhur di
belakang imam yang melaksanakan shalat ‘Ashar kemudian setelah itu ia
melaksanakan shalat ‘Ashar. ” (Al Umm, 1: 201)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata,
في مذاهب العلماء في اختلاف نية الامام
والمأموم: قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة المتنفل والمفترض خلف متنفل ومفترض
“Menurut pendapat para
ulama dalam hal perbedaan antara niatan imam dan makmum, sebagaimana yang telah
kami sebutkan bahwa menurut madzhab kami, madzhab Syafi’i, boleh adanya beda
niat antara imam dan makmum di mana imam melaksanakan shalat sunnah atau shalat
wajib dan makmum melaksankan shalat sunnah dan shalat wajib.” (Al Majmu’, 4:
271)
Sedangkan mengenai hadits,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Imam itu diangkat untuk
diikuti” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud adalah mengikuti imam dalam hal
gerekan dan bukan dalam niat. Karena jika seperti itu dibebani, ini adalah
pembebanan yang tidak mungkin dilakukan. Dan di dalam hadits juga disebutkan
mengenai gerakan,
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ
فَارْكَعُوا
“Jika imam bertakbir,
maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah.”[3]
Contoh Lain dalam
Penerapan Kaedah
Contoh lain dalam penerapan
kaedah Imam Syafi’i di atas:
1- Imam Syafi’i dalam Al
Umm (1: 185) berkata,
وإذا افتتح الرجل الصلاة لنفسه لا ينوى أن
يؤم احدا فجاءت جماعة أو واحدا فصلوا بصلاته فصلاته مجزئة عنهم وهو لهم إمام ولا
فرق بينه وبين الرجل ينوي أن يصلى لهم ولو لم يجز هذا لرجل لم يجز أن ينوي إمامة
رجل أو نفر قليل بأعيانهم لا ينوى إمامة غيرهم ويأتى قوم كثيرون فيصلون معهم ولكن
كل هذا جائز إن شاء الله تعالى وأسأل الله تعالى التوفيق.
“Jika seseorang memulai
shalat untuk dirinya sendiri tanpa berniat menjadi imam bagi yang lain, lalu
ada jama’ah atau satu orang shalat di belakangnya, maka shalat orang yang
shalat lebih dulu tadi sah untuk mereka. Ia ketika itu menjadi imam untuk
mereka. Tidak ada bedanya antara dia dengan orang yang sejak awal sudah berniat
menjadi imam. Seandainya hal ini tidak dibolehkan maka jika ada yang berniat
imam untuk seseorang atau sekelompok orang lalu datang lagi jama’ah lainnya
kala itu, tentu ia tidak boleh jadi imam untuk yang datang terlambat. Intinya
semuanya itu boleh -insya Allah Ta’ala-. Aku memohon pada Allah taufik.”
2- Juga Imam Syafi’i menyebutkan dalam Al Umm (1: 209),
ولو صلى مسافر بمسافرين ومقيمين ونوى أن يصلى
ركعتين فلم يكمل الصلاة حتى نوى أن يتم الصلاة بغير مقام أو ترك الرخصة في القصر
كان على المسافرين والمقيمين التمام ولم تفسد على واحد من الفريقين صلاته
“Seandainya ada musafir
yang mengimami para musafir dan orang mukim, di awal imam tersebut berniat
dengan shalat dua raka’at (qoshor). Namun ternyata ia meniatkan menyempurnakan
shalat (menjadi empat raka’at) setelah itu dengan meninggalkan rukhsoh shalat
dua raka’at. Ketika itu shalat makmum musafir dan mukim di belakangnya yang
sempurna (dengan empat raka’at) tidaklah batal karena shalat mereka
masing-masing tidak merusak shalat yang lain.”
Semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik
Su’ud, Riyadh-KSA, 28 Shafar 1434 H