Mengenai hukum buang hajat
dengan menghadap atau membelakangi kiblat diperselisihkan oleh para ulama
menjadi beberapa pendapat. Ada yang melarang secara mutlak baik di dalam maupun
di luar bangunan. Ada pula yang melarang hanya ketika berada di luar bangunan.
Dan pembahasan ini pernah kami singgung di Rumaysho.com dalam bahasan “Adab Ketika Buang Hajat”.
Dalil
Permasalahan
Dari Abu Ayyub Al Anshori,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ
تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ
فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ
وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi
jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan
tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami
pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah
kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada
Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264).
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika
kondisinya di Madinah. Karena arah kiblat di Madinah adalah menghadap ke
selatan. Kalau dikatakan tidak boleh menghadap kiblat atau pun membelakanginya,
berarti yang dimaksud adalah larangan menghadap selatan dan utara. Jadinya,
yang dibolehkan adalah menghadap barat atau timur. Ini bagi kota Madinah,
sedangkan untuk daerah lainnya tinggal menyesuaikan maksud hadits.
Hadits kedua, hadits Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ
لِبَعْضِ حَاجَتِى ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقْضِى
حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah menaiki
rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan
menghadap Syam.” (HR. Bukhari no. 148, 3102 dan Muslim no. 266). Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat
ketika buang hajat dan ketika itu berada di dalam bangunan, artinya terhalangi
oleh dinding bangunan. Membelakangi kiblat berarti menghadap ke arah utara dan
Syam berada di utara Madinah.
Ada dalil lainnya dalam
kitab sunan,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
نَهَى نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ
بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَ
Dari Jabir bin ‘Abdullah ia
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghadap
kiblat ketika kencing, namun aku melihat setahun sebelum beliau wafat, beliau
menghadapnya (HR. Abu Daud no. 13, Tirmidzi no. 9 dan Ibnu Majah no. 325.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).
Delapan Pendapat
Dalam masalah menghadap
atau membelakangi kiblat ketika buang hajat, para ulama berselih pendapat
menjadi:
1- Tidak dibolehkan baik di
dalam bangunan atau di luar bangunan. Inilah pendapat Abu Ayyub Al Anshori,
Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
2- Dibolehkan di dalam
bangunan maupun di luar bangunan. Inilah pendapat Robi’ah, guru dari Imam
Malik.
3- Diharamkan di luar
bangunan, bukan di dalam bangunan. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
4- Tidak boleh menghadap di
dalam atau di luar bangunan, namun boleh membelakanginya di dalam maupun di
dalam maupun di luar bangunan. Ini salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad.
5- Hukumnya hanyalah makruh
dan menjadi pendapat Hadawiyah.
6- Boleh membelakangi dalam
bangunan saja dan inilah yang jadi pegangan Abu Yusuf.
7- Dilarang secara mutlak
termasuk pula pada Baitul Maqdis, sebagaimana pendapat Ibnu Siirin.
8- Pengharaman hanya khusus
penduduk Madinah dan yang searah dengan mereka, demikian pendapat Abu ‘Awanah,
murid dari Al Muzani.
Pendapat yang
Lebih Kuat
Pendapat yang lebih tepat
dalam masalah ini sebagaimana yang dianut oleh madzhab Syafi’i, yaitu tidak
boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika berada di luar bangunan, namun
tidak terlarang di dalam bangunan yang ada penghalang (pembatas). Yang
mendukung hal ini adalah tiga dalil yang telah disebutkan di atas dan hasil
kompromi.
Kenapa bisa sampai pendapat
ini yang dikuatkan?
Guru kami, Syaikh Dr. Sa’ad
bin Nashir Asy Syatsri mengatakan bahwa tidak tepat jika mendahulukan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan larangan dengan perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya atau
keringanan. Dan tidak perlu sampai menguatkan perkataan dari perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena selama bisa dikompromikan antara perkataan dan
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang didahulukan,
tanpa menempuh jalan pentarjihan (penguatan pendapat). Sehingga yang dipilih
adalah dengan mengkompromikan dalil, yaitu kita katakan bahwa hadits larangan
berlaku untuk luar bangunan, sedangkan hadits rukhsoh (keringanan)
dimaksudkan untuk dalam bangunan. Inilah jalan kompromi yang terbaik menurut
beliau sebagaimana disebutkan dalam Syarh ‘Umdatil Ahkam, 1: 46-47.
Jika dipahami secara
tekstual, maka yang dimaksud dengan larangan di sini adalah larangan haram.
Demikian disebutkan oleh Abu Bakr Al Hishni Al Husaini dalam Kifayatul
Akhyar hal. 73.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa
Al Bugho dalam At Tadzhib (hal. 20) berkata, “Larangan menghadap atau
membelakangi kiblat dibawa pada makna larangan ketika berada di luar bangunan
yang tidak tertutup. Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan bolehnya dipahami bolehnya di dalam bangunan.”
Sebagaimana dinukil pula
oleh penulis Kifayatul Akhyar, Imam Nawawi berkata bahwa jika di hadapan
orang yang buang hajat terdapat penutup (penghalang) yang tingginya 2/3 hasta
sampai 3 hasta, maka boleh saja menghadap kiblat baik ketika berada di dalam
bangunan atau di luar bangunan. Artinya, patokannya adalah adanya penghalang
ataukah tidak di arah kiblat. Kalau ada penghalang berarti tidak menghadap
langsung ke kiblat, maka tidaklah masalah. Demikian faedah dari Kifayatul
Akhyar, hal. 73.
Semoga Allah memberi taufik
dan petunjuk.
---
@ Pesantren
Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 11 Jumadal Ula 1434 H