Ada seorang ayah yang hidup tak berkecukupan dan terlilit
hutang. Ia hanya memiliki harta hayati, yaitu seorang anak laki-laki. Keduanya
tinggal serumah dan tiada siapa-siapa lagi.
Suatu hari, terdengar suara gedoran dari pintu depan. Sang putra
pun bukakan pintu menjawabnya. Tiba-tiba, penggedor itu, seorang laki-laki,
mendorong pintu dan langsung merasuk ke rumah tanpa salam ataupun penghormatan
wajar. Lalu menghampiri sang ayah dan memegang kerahnya keras-keras.
"Bayarlah hutang-hutangmu. Tidak malukah engkau!? Aku sudah
menunggu di luar batas kewajaran! Habis sudah kesabaran! Apa kamu sedang
menunggu apa yang akan aku perbuat padamu???"
Anaknya pun tak bisa menahan gejolak hati melihat ayahnya
dihinakan di depannya seperti itu. Ia berkata, "Jangan! Jangan! Tenanglah.
Mohon...mohon lepaskan ayah. Aku bersedia membayar yang terbutuhkan. Moga bisa
memuaskan Anda! Berapa hutang yang harus terbayar?" Ia pun tak bisa
menahan linangan air mata.
Lelaki itu menjawab sekian. Jumlahnya sangat besar.
"Kumohon lepaskan ayah. Aku akan mengambil tabunganku di
kamar."
Lalu ia pun bergegas ke kamar. Merogoh semua uang yang ada di
dalam lemari. Itu adalah uang gaji simpanannya dari masa ke masa. Sengaja ia
simpan demi pernikahan yang berkurun zaman ia idamkan dan igaukan. Namun,
rupanya jauh dari harapan. Ia hanya punya kurang lebih setengah dari yang
terminta.
"Aku hanya mampu memberimu sekian untuk saat ini. Insya
Allah, kelak di masa aku dirizkikan lebih, kami akan memberimu hingga semua
terpenuhi."
Sang ayah pun menangis dan meminta pada lelaki itu,
"Kumohon, janganlah kau terima uang anakku itu. Sesungguhnya ini salahku.
Ia tak punya turut dosa di perkara ini. Biarkan ia menabung!"
Namun sang putra menyangkal. "Tidak, wahai ayah. Uang ini
untuknya." Ia memaksa lelaki itu untuk mengambil uangnya.
Setelah berlalunya lelaki itu keluar, sang putra berkata,
"Aku tidak bisa menahan melihat ayah diinjak seperti itu. Kehormatan ayah
di hadapku lebih berharga dari semua uang itu."
Tidak bisa tidak, ayahnya pun segera memeluk putranya sambil
menangis sesegukan dengan keharuan yang terlalu membiru. "Mudah-mudahan
Allah membalas baktimu, memberimu taufiq dan membumikan mimpi-mimpimu,
anakku."
Esoknya, ketika sedang melaksanakan tugas pekerjaannya,
datanglah seorang rekan kerja padanya. "Kemarin, salah seorang manajer
perusahaan memintaku mencarikan seorang pemuda muslim yang berakahlak baik, terpercaya
dan mampu menjalani pekerjaan di bidang tertentu. Aku tidak mendapatkan
kriteria-kriteria itu di antara pemuda yang kukenal kecuali pada dirimu.
Hendakkah kiranya sore ini kau ikut bersamaku untuk menemuinya sore ini?"
Ia pun langsung teringat pada ayahnya. "Ya
Rabb...mudah-mudahan ini berkat doa ayah..." Matanya berbinar dan lisannya
tak luput dari memuji Sang Pemberi Rizki.
Namun, kepastian belum terjadi. Hanya, terbitan harapan itu
sudah tercurah, meski tak begitu besar. Sorenya pun putra berbakti itu bertemu
dengan sang manajer. Rupanya ia merasa tenang melihat sorotan wajahnya dan
yakin bahwa, 'Inilah pemuda yang selama ini aku cari-cari.'
"Berapa gajimu, anak muda?"
"5 ribu real."
"Sampaikan surat pengunduranmu esok-esok. Kerjalah bersama
saya. Gajimu 45 ribu Real. Dan kau masih terberi bonus sekian persen dari
keuntungan. Kau saya beri tempat layak dan mobil. Dan enam bulan gaji akan
dibayar tuk perbaiki keadaanmu."
Terbuncah kemudian tangisan tak terbendung.
"Gerangan apa yang buatmu menangis?"
Maka ia pun bercerita perihal kejadian 2 hari sebelumnya.
Manajer itu pun memutuskan untuk melunasi hutang-hutangnya.
...dan hasil keuntungan [bonus] yang ia dapatkan di tahun
pertama rupanya adalah sekitar setengah miliyar real.
[cerita ini terdapat di sebuah edisi majalah Qiblati; dengan
pengalihan dan perubahan bahasa]