Bolehkah zakat disalurkan
untuk para santri atau penuntut ilmu agama? Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
zakat tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid, pembangunan pesantren
atau untuk fasilitas sosial, lihat tulisan di sini. Yang kita bahas
kali ini adalah jika zakat tersebut disalurkan untuk para santri pesantren atau
penuntut ilmu agama.
Perlu diketahui bahwa para
ulama sepakat bolehnya zakat disalurkan untuk penuntut ilmu. Demikian
ditegaskan oleh ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, juga dipahami dari
madzhab Malikiyah. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya
penuntut ilmu (agama) mengambil zakat walau ia mampu (kaya) yaitu jika ia
menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengambil manfaat dari belajar sehingga
ia tidak mampu mengais rizki dengan bekerja.
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Seandainya seseorang mampu dan layak bekerja namun ia tersibukkan
dengan belajar ilmu syar’i dan jika ia mengambil jalan untuk bekerja, maka
terputuslah ia meraih ilmu, kondisi ini membuatnya berhak mendapat zakat.
Karena menuntut ilmu (agama) dihukumi fardhu kifayah (yaitu sebagian
orang di antara kaum muslimin harus melakukannya, pen).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah
ditanya mengenai seorang penuntut ilmu yang tidak mampu membeli berbagai
kita yang ia butuhkan. Beliau menjawab, “Boleh baginya mengambil dari zakat
sesuai yang ia butuhkan untuk memperoleh kitab ilmu di mana kitab tersebut
bermanfaat untuk agama dan dunianya.”
Al Buhuti rahimahullah berkata,
“Penuntut ilmu tidaklah di luar dari 8 ashnaf (golongan) yang berhak menerima
zakat. Kebutuhan penuntut ilmu akan buku ibarat seperti nafkah hidup untuknya.
Dan para ulama fikih mengkhususkan bolehnya penyaluran zakat untuk penuntut
ilmu agama saja.”
Ulama Hanafiyah menegaskan
bahwa boleh memindahkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain dengan alasan
disalurkan untuk penuntut ilmu. (Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
336-337)
Ada 8 ashnaf (golongan)
penerima zakat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin,
[3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk
(memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan
Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(QS. At Taubah: 60). Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang
memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya
diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan,
yang dimaksud “fii sabilillah” adalah jihad untuk meninggikan kalimat
Allah itu mulia. Para mujahid diberikan zakat untuk maksud ini sebagai nafkah
dan untuk pembelian persenjataan bagi mereka. Para ulama mengatakan bahwa
termasuk “fii sabilillah” adalah seseorang yang menghabiskan waktunya untuk
belajar agama, ia bisa mendapatkan zakat untuk memenuhi kebutuhannya berupa
nafkah, pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal, dan kitab ilmu. Karena
sekali lagi, menuntut ilmu syar’i adalah bagian dari jihad di jalan Allah (fii
sabilillah). Imam Ahmad berkata,
العلم لا يعدله شيء لمن صحّت نيّته
“Tidak ada sesuatu yang
dapat menandingi ilmu jika benar niatnya.”
Ilmu adalah pokok setiap
syari’at. Tidak ada syari’at kecuali dengan ilmu. Allah menurunkan kitab dengan
tujuan untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Dengan ini maka bisa
dipelajari berbagai hukum syar’i, juga bisa diketahui akidah, perkataan dan
perbuatan.
Adapun jihad di jalan Allah
tentu termasuk sebaik-baik amalan, bahkan jihad adalah puncak ajaran Islam.
Tidak ragu lagi, jihad adalah amalan sangat utama. Akan tetapi, ilmu syar’i
juga punya andil besar dalam Islam dan mempelajarinya termasuk jihad fii
sabilillah tanpa ragu lagi. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 337/338)
Komisi Fatwa di Kerajaan
Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya,
“Bolehkah menyalurkan zakat untuk penuntut ilmu yang sangat membutuhkan?”
Jawab mereka: Boleh
menyalurkan zakat untuk mereka untuk memenuhi hajar mereka.” (Fatwa Al Lajnah
Ad Daimah, 10: 17)
Semoga Allah memberi kita
selalu ilmu bermanfaat dan memberi taufik untuk beramal sholih.
Wallahu waliyyut taufiq was
sadaad.
@ Pesantren Darush
Sholihin, Panggang-Gunung Kidul, 19 Ramadhan 1433 H