Wani Piro? :D
Mereka, lelaki dan
perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui ta’aruf yang
singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah.
Sang lelaki, sendiri, harus
maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.
Dan ini, tantangan yang
sesungguhnya.
Ia telah melewati deru
pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang
amatlah berbeda.
Sang perempuan, tentu saja
siap membantunya.
Memuluskan langkah mereka menggenapkan
agamanya.
Maka, di suatu pagi, di
sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang
lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.
“Oh, jadi engkau yang akan
melamar itu?”
tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak,” jawab sang
muda.
“Engkau telah mengenalnya
dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat
mengenalnya,” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu kutolak. Berarti
engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa.
Aku tidak bisa mengijinkan
pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak
kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan
lalu.”
“Lamaranmu kutolak. Itu
serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang
menceraikannya karena kau tak mengenalnya.
Jangan-jangan kau nggak
tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.
Ini situasi yang sulit.
Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda.
Bisiknya, “Ayah, dia dulu
aktivis lho.”
“Kamu dulu aktivis ya?”
tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu aktif di
dakwah Kampus,”jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu kutolak. Kamu
pasti banyak mengenal wanita-wanita sholehah lain,
kamu bakal dengan mudahnya
meninggalkan anakku jika kamu menemukan teman aktivismu yang wanita dikampus
dulu?”
“Anu Pak, nggak kok. Wong
dulu saya cuma jadi anggota. Saya belum mampu mengurus amanah yang besar, jadi
ndak terlalu terkenal dan nda banyak kenal..”
“Lamaranmu kutolak. Lha
wong kamu ngak mampu memegang amanah ketika dakwah kampus dulu, kok mau ngatur
keluargamu?”
Sang perempuan membisik
lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik XXXX
XXX Pak. XXX itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu
sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Wong saya
juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma
dua koma Pak.”
“Lha lamaranmu ya kutolak.
Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”
Bisikan itu datang lagi,
“Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja
sebagai marketing.
Keliling Jawa dan Sumatera
jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kalau
kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan
keluargamu.”
“Anu kok Pak. Kelilingnya
jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku.”
“Lamaranmu tetap kutolak.
Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”
Bisikan kembali, “Ayah,
yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat
Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kami
sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga
emas seratus gram dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kau
pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda,
itu bukan caraku.
”Bisikan, “Dia jago IT lho
Pak”
“Kamu bisa apa itu,
internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin
pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”
“Lamaranmu kutolak. Nanti
kamu cuma nge-net thok.
Menghabiskan anggaran untuk
internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma
ngecek imel saja kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Jadi
kamu nggak ngerti Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek
gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik
apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu
mau pamer tho kalau kamu kaya.
Itu namanya Riya’. Nanti
hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng
mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. Lha nanti
kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku
supir?”
Bisikan, “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok”
“Lamaranmu kutolak. Mbok
kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung,
sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu
berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”
Sang perempuan kini
berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang
harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap
wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
“Nak, apa adakah yang
engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”
Si pemuda telah putus asa,
tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia
menyerah, jawabnya,
“Pak, dari tiga puluh juz
saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang
pendek-pendek saja.
Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”
Sang setengah baya
tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda.
Itu cukup. Kau lebih hebat
dariku. Agar kau tahu saja,
membacanya saja pun, aku
masih tertatih.”
Sumber: Panpage Status
Nasehat dengan sedikit penyesuaian tanpa merubah esensi asli tulisan ini
siapa yaah adminnya? :D hehehe bagus bagus nih artikelnya LISFA, waaah sukses terus yaaa,, aku rindu LISFA :D
Adminnya LISFA mba