Tidak dapat disangkal lagi
bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla karena
Islam adalah agama yang datang dari Rabbul ‘alamin. Maka siapa pun orangnya
yang mencari-cari agama selain agama Islam, maka ia akan ditolak di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS
Alu Imran: 19).
Juga penegasan-Nya:
وَ
مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِي
الْأخِرَةِ مِنَ الْخسِرِيْنَ
“Dan siapa yang mencari
agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk
orang-orang yang merugi.” (QS Alu Imran: 85)
Yaitu, Siapa yang menempuh
suatu jalan selain yang Allah syariatkan kelak di akhirat dia
termasuk orang-orang yang merugi sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits
shahih, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk
perkara kami, maka ia tertolak.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim III/103).
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu melaporkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa beliau bersabda:
وَ
الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الْأُمَّةِ
يَهُوْدِيٌّ وَ لَا نَصْرَانِيٌّ وَ مَاتَ وَ لَمْ يُؤْمِنُ بِي إِلَّا كَانَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari kalangan umat ini baik Yahudi
maupun Nasrani yang mendengar (dakwah)ku
sedangkan ia wafat dalam keadaan tidak beriman kepadaku, kecuali dia termasuk
penduduk neraka.” (HR Muslim dalamShahih-nya)
Bukti yang menunjukkan
bahwa Islam adalah agama sempurna yang diridhai Allah adalah firman-Nya dalam
surat Al-Maidah ayat ke-3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agamamu.”
Dalam hal ini juga, telah
berkata Abu Dzarr Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah
wafat. Tidaklah ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya ke udara
kecuali beliau telah mengingatkan (menjelaskan) ilmunya kepada
kita.” Selanjutnya Abu Dzarr berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sesuatu yang dapat
mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan
kepada kalian.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Dinilai shahih oleh Al-Albani
dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)
Bahkan yang mengakui
kesempurnaan Islam tidak hanya orang di kalangan Islam sendiri, sampai pun
Yahudi mengakuinya. Dengarkanlah pengakuan seorang Yahudi kepada Salman
Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasul kalian telah
menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai buang hajat.”
Selanjutnya Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Beliau
telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil atau
beristinja dengan tangan kanan, beristinja dengan kotoran atau belulang.” (HR
Muslim)
Maka tidaklah ada suatu
kebaikan yang dengannya seoramg hamba mendekatkan diri kepada Rabb-nya kecuali
telah beliau ajarkan. Demikian dengan hal-hal yang menjerumuskan kepada
keburukan, maka beliau telah memperingatkan jauh-jauh hari darinya.
Allah Jalla wa ‘Ala sendiri
menjelaskan kesempurnaan Kitab-Nya yang menjadi pedoman umat Islam (yang
artinya), “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas
segala sesuatu.” (QS An-Nahl: 89) Juga firman-Nya (yang artinya),
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Quran).” (QS
Al-An’am: 38)
Seluruh dalil ini adalah
sebagai bantahan buat orang nyleneh dari kalangan Liberal yang
mengganggap bahwa semua agama itu sama dan juga sebagai bantahan untuk para
ahli bid’ah yang menganggap bahwa risalah yang disampaikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam belum sempurna sehingga perlu disempurnakan lagi
dengan mengada-ngadakan amalan-amalan baru yang belum dikenal di tiga kenerasi
awal. Padahal Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan
tegas mengatakan:
وَ
شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كَلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dan seburuk-buruk perkara
adalah apa yang diada-adakan. Karena sesunggunya setiap yang diada-adakan itu
bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan neraka tempatnya.”
Dalil-dalil yang mengancam
perilaku bid’ah tidak hanya sampai ini saja, namun masih banyak lagi.
Di antaranya ialah sabda beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang
mengada-ngadakan suatu perkara dalam urusan kami ini yang bukan wewenangnya,
maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim
disebutkan, “Siapa yang mengerjakan sesuatu yang bukan termasuk perkara
kami, maka ia tertolak.”
Berkata ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Setiap bid’ah adalah sesat meski
manusia memandangnnya baik.”
Imam Darul Hijrah, Malik
bin Anas rahimahullah, berkata, “Barangsiapa yang membuat
suatu bid’ah dalam Islam yang dipandang baik, maka sungguh dia telah mengira
bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlaku
khianat terhadap risalah. Sebab, Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu…’ Apa yang pada hari itu bukan
agama, pada hari ini juga tetap bukan agama.” (Riwayat Abu Dawud)
Kewajiban mengambil seluruh
syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya
Setelah mengetahui
kebenaran dan kesempurnaan agama Islam, sepantasnya orang segera memeluk Islam
agar keselamatan segera menghampirinya. Baginda Nabi Muhammad ‘alaihi
afdhalush shalatu was salam dalam suratnya yang ditujukan kepada raja
Romawi, Herakliaus:
أَسْلِمْ
تَسْلَمْ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَسْلِمْ يُئْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ
“Peluklah Islam Anda akan
selamat. Masuklah ke dalam Islam Anda akan selamat. Masuklah ke dalam Islam,
niscaya Allah akan melimpahkan kepada Anda ganjaran dua kali lipat.” (HR
Al-Bukhari)
Dan bagi yang sudah memeluk
Islam untuk memegang erat-erat seluruh syariatnya tanpa memilah dan memilih.
Dan sangat tidak pantas orang yang berperinsip, “Apa yang disukai dikerjakan
dan yang bertentangan dengan hawa nafsu ditinggalkan.” Bukankah Allah secara
tegas telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memeluk Islam
secara sempurna. Dia berfirman:
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوْا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang
beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata
bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Berkaitan dengan ayat ini
dan satu ayat setelahnya, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Ini merupakan titah dari Allah Ta’ala kepada orang-orang
beriman agar mereka masuk { فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً (ke dalam Islam
secara keseluruhan)}, yaitu dalam seluruh syariat agama dan tidak meninggalkan
darinya sedikit pun dan agar tidak menjadi orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya; jika perkara yang disyariatkan itu sesuai dengan hawa nafsu
dikerjakannya namun jika bertentangan ia akan meninggalkannya. Akan tetapi yang
menjadi kewajiban adalah hawa nafsu itu haruslah mengikuti agama. Dan
agar ia mengerjakan setiap yang ia mampu berupa perbuatan-perbuatan baik
dan yang belum mampu ia (tetap) memandangnya wajib dan berniat (mengerjakan)nya
sehingga niatnya itu dapat menggapainya.
“Oleh karena masuk ke dalam
Islam secara keseluruhan tidak akan mungkin dan tergambar kecuali dengan
menyelisihi langkah-langkah setan, Allah berfirman, ‘…dan janganlah
kalian mengikuti langkah-langkah setan’, yaitu dalam bermaksiat kepada
Allah.‘Sesungguhnya dia (setan) adalah musuh nyata bagi kalian’, dan
musuh yang nyata tidak akan memerintah kecuali dengan keburukan, kekejian, dan
yang membahayakan kalian.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hlm. 78)
“Oleh karena itu,” kata
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi hafizhahullah, “Jika ada
seseorang berkata, ‘Aku menerima Islam dan memeluknya, hanya saja apa yang
diharamkannya berupa minuman dan makanan, aku tidak mengharamkannya.’ Atau yang
lain mengatakan, ‘Aku memeluk Islam, namun aku tidak mau mengakui puasa karena ia akan melemahkan
kekautan badanku.’ Atau yang lain mengatakan, ‘Aku memeluknya tapi aku enggan
mengakui apa yang ditetapkan Islam bahwa bagian wanita itu setengah daripada bagian
laki-laki dalam pewarisan.’ Atau lainnya berkata, ‘Aku mengakui Islam,
tetapi aku tidak mau mengakui hukum potong tangan pencuri atau rajam
pezina muhshan (yang sudah kawin).’
“Apakah Islam mereka ini
bisa diterima? Jawabannya, tidak akan diterima selamanya. Mereka
adalah orang-orang kafir yang kekal di neraka jika mereka mati dalam keadaan
kafir semacam ini.” (Nida’at Ar-Rahman li Ahli Al-Iman hlm. 20)
Beliau juga mengatakan,
“Dan tidak diperkenankan bagi seorang mukmin yang sejati kecuali berserah diri
secara sempurna kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dengan
menerima apa yang Dia syariatkan dan tidak memilih-milihnya dengan menerima
sebagian dan menolak yang sebagiannya.”
Allah Ta’ala juga
berfirman memerintahkan kepada manusia agar menerima semua yang dibawa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (artinya), “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu
tinggalkanlah. Dan bertawqalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
siksa-Nya.” (QS Al-Hasyr: 7)
Syaikh Muhammad Nawawi bin
‘Umar Al-Bantani rahimahullah dalam tafsirnya, At-Tafsir Al-Munir li Ma’alim At-Tanzil(II/509),
berkata, “Wajib patuh, karena beliau tidak berucap menurut nafsunya. Dan ini
mengharuskan apa yang diperintahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
titah dari Allah. Meskipun ayat ini khusus tentang fai’, namun
seluruh perintah dan larangannya termasuk di dalamnya.”
Kebinasaan bagi Orang yang
memilah-milah ajaran Islam
Ketika seseorang telah
memutuskan dirinya untuk memeluk agama Islam yang memang satu-satunya agama
yang benar sebagaimana diterangkan di atas, maka haruslah ia menerima seluruh
konsekuensinya secara sempurna tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang
lain. Ia harus melakukan seluruh ajarannya tanpa terkecuali. Demikian juga ia
harus berserah diri kepada hukum yang Allah turunkan; baik hukum itu sudah
diketahui hikmahnya atau belum.
Syaikhul Islam Muhammad bin
‘Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan dalam risalahnya yang
amat berharga, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, “(Islam adalah) berserah
diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan
berlepas diri dari kemusyrikan dan pelakunya.”
Maka jika seorang muslim
mendengar titah dari Allah dan Rasul-Nya, maka tak ada pilihan baginya kecuali
mentaati perintah tersebut dengan penuh kerelaan dan keridhaan. Allah berfirman
, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’:
65)
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al-Ahzab: 36)
Adapun orang-orang yang
memilah-milah ajaran Islam dalam artian jika ajaran itu sesuai dengan kebutuhan
mereka maka akan mereka ikuti namun jika tidak serta-merta mereka
meninggalkannya, maka ini adalah kebiasan kaum munafik.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, “Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan
rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka menolak untuk datang.Tetapi jika keputusan itu untuk
(kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak
datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena)
mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku
zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS
An-Nur: 47-50)
Akan tetapi sikap seorang
mukmin sejati adalah tunduk dan patuh sebagaimana lanjutan ayat di atas, “Sesungguhnya
jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami
mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS An-Nur: 51)
Demikian juga kebiasaan
buruk dalam beragama ini sudah menjadi kebiasaan umat sebelum umat ini. Allah
berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan
rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebahagian dan kami
kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). Merekalah orang-orang
kafir yang sebenarnya. Kami telah menyiapkan siksaan yang menghinakan untuk
orang-orang yang kafir itu.” (QS An-Nisa’: 150-151)
Ancaman Allah kepada
orang-orang yang setengah-setengah dalam berislam adalah sangat besar. Dimana
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ، فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ
مِنْكُمْ إِلّا خِزْيٌّ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّوْنَ إِلَى أَّشَّدِّ الْعَذَابِ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada
sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian kepada sebagian (yang
lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian
itu di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak
lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS
Al-Baqarah: 85)
Dalam ayat selanjutnya
Allah ‘Azza wa Jlla menyebutkan sebab mengapa ada orang yang
memilih-milih syariat untuk dikerjakan. Dia berfirman, “Mereka itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak
akan diringankan siksanya dan mereka tidak akan ditolong.”
Maka sepantasnya bagi
seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin agar dengan lapang dada
dalam menerima seluruh syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya. Inilah sifat
seorang mukmin sebenarnya. “Ucapan seorang mukmin yang apabila mereka
diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di
antara mereka hanya, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan merekalah orang-orang
yang beruntung.” (QS An-Nur: 51)
Adapun hawa nafsu, maka
sepatutnya tidak dijadikan sebagai tolak ukur kebaikan karena dia hanya akan
mengajak kepada keburukan sebagaimana firman Allah ketika menghikayatkan
perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam –menurut suatu pendapat-,“Sesungguhnya
nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang dirahmati
Rabb-ku.” (QS Yusuf: 53)
Lebih jauh lagi Allah Ta’ala berfirman, “Maka
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah mengunci
pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya?” (QS
Al-Jatsiyyah: 23)
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن
فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
(Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS
Al-Mukminun: 71)
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Salah seorang di antara
kalian tidak akan beriman sampai nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Karena pada dasarnya
seorang yang berislam berarti ia menyerahkan dirinya kepada Allah dan tunduk
hanya kepada-Nya. Apa pun yang Allah titahkan akan dilakukannya dan apa pun
yang dilarang akan dijauhinya. Inilah prinsip yang benar bagi seorang muslim.
Yang memperihatinkan adalah
adanya penindasan-penindasan yang tidak hanya dilakukan orang-orang kafir
terhadap syariat Islam serta tuduhan-tuduhan miring yang mereka alamatkan
kepada setiap muslim yang konsisten terhadap agamanya. Bahkan hal semacam ini
juga terjadi di perguruan-perguruan tinggi yang berlabelkan “Islam”.
Padahal jika kita cermat
mengamati seluruh syariat Islam, tentu kita akan mendapatinya di puncak
keindahan dan kekokohan. Seluruh maslahatnya akan berpulang kepada hamba. Oleh
sebab itu kita jumpai dalam kaidah fiqih, “Pembuat syariat
(Allah) tidak menitahkan kecuali maslahatnya murni atau dominan dan tidak
melarang kecuali mafsadatnya murni atau dominan.” (Al-Qawa’id wa Al-Ushul hlm.
27)
Adapun hukum-hukum
Islam seperti rajam, potong tangan, cambuk, dan seterusnya yang dianggap tidak
berkeprimanusiaan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan orang kafir dan liberal,
maka itu merupakan pandangan dan pendapat yang sangat dangkal dan sama sekali
jauh dari kebenaran dan realita yang ada. Karena sebenarnya yang tidak
berkeprimanusiaan itu adalah pelaku kejahatan itu dan mereka sendiri. Hal ini
sudah dibuktikan oleh penemuan-penemuan keajaiban dan hikmah yang begitu
menakjubkan dalam syariat-syariat Islam. Tapi karena hati yang sudah terkunci
dan sudah terlanjur benci, maka yang baik pun tetap dipandang buruk meski lubuk
hati mereka yang terdalam tidak dapat mengingkarinya. Kesombongan itulah biang
keroknya. “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan
kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS An-Naml:
14)
Padahal sikap membenci
syariat agama termasuk pembatal Islam. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata
dalam Nawaqidh Al-Islam, “(Pembatal Islam) kelima: siapa yang
membenci sesuatu dari apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam meski ia kerjakan, maka ia kafir.” Pernyataan ini disimpulkan
dari firman Allah, “Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka benci
kepada apa yang Allah turunkan lalu Allah menghapus seluruh amal-amal mereka.” (QS
Muhammad: 9)”
Begitu pula termasuk
pembatal Islam adalah tindakan memperolok-olok syariat Islam. Allah berfirman
(yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentu mereka akan beralasan, ‘Sesungguhnya kami hanya
bersendau gurau dan main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian
meminta mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (QS
At-Taubah: 65-66)
Sebuah contoh akibat buruk
bagi orang yang enggan menjalankan syariat Islam adalah sebagaimana laporan
Imam Muslim rahimahullahdalam kitab Shahih-nya, “Ada
seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan
kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu
tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa
sampai ke mulutnya.”
Berkata Abul ‘Aliyyah
Ar-Rayahi rahimahullah, “Pelajarilah oleh kalian Islam itu. Apabila
kalian sudah mempelajarinya, janganlah kalian benci. Hendaklah kalian
mengambil shirath mustaqim (jalan yang lurus). Karena jalan
yang lurus adalah Islam. Dan kalian jangan menyimpang ke kanan maupun ke kiri
dari jalan yang lurus itu. Ambillah sunnah
Nabi kalian dan waspadalah terhadap hawa nafsu ini yang
melontarkan permusuhan dan kebencian di tengah pengagumnya.”
(Diriwayatkan Ibnu Baththah).
Semoga shalawat beriringan
salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad, keluarga,
shahabat, dan siapa pun yang teguh serta tegar mengikuti sunnah-sunnahnya
dengan penuh ketundukan. Allahua’lam. []
Penulis: Firman Hidayat
Artikel Muslim.Or.Id